Kisah Teungku Abdullah Syafii Sang Pejuang Aceh, Membela Negerinya


TEUNGKU Lah (panggilan Abdullah Syafii) adalah sosok bersahaja, sebagai pejuang ia ternyata juga orang yang ramah kepada siapa saja, termasuk ramah juga kepada lingkungan hutan saat beregrilya. 
Di mata masyarakat tempat ia tinggal, lelaki tersebut sebagai sosok sederhana nan alim. Dia pun tidak bicara "crah beukah", sifatnya yang santun membuat orang tidak pernah marah kepadanya dan bila ia berbicara berisi petuah dan bijaksana.

Setiap warga selalu senang bila sempat duduk satu majelis dengannya. Orang-orang tidak takut kepadanya namun dia sangat disegani. Bila ada yang melakukan kesalahan bukannya marah tapi ditegur baik-baik olehnya. Sehingga banyak orang simpati kepadanya dan malu-malu ketika berhadapan dengannya.

Di saat ia sedang bergerilya menjelajah hutan bersama pasukannya, terkadang didapati hidupnya sekarat dan serba kekurangan dan ketiadaan stok makanan (logistik), namun ia tetap lebih memilih bersusah payah mencari sendiri apa yang bisa dimakan tanpa menyusahkan anak buahnya. Bahkan ia memberikan keleluasaan terhadap anak buahnya yang ingin makan enak dengan berburu dan memakan daging Rusa (yang ditembak di hutan).

Dialah orangnya yang bangga ketika dapat membuktikan diri sebagai orang yang peduli pada bangsanya dengan menjadi pejuang yang siap berkorban darah dan air mata.

Detik-detik Ajalnya Tiba

Di suatu malam dini hari menjelang Subuh, terdengar dari kejauhan letusan senjata mengoyak heningnya pagi buta saat itu. Ternyata suara itu bersumber dari kontak tembak yang terjadi di areal persawahan Alue Mon, Cubo, kecamatan Bandar Dua, Pidie. 

Subuh itu, 22 Januari 2002, Teungku Abdullah Syafie dan pengawalnya yang turun ke Alue Mon, rupanya pergerakan mereka telah tercium pasukan TNI yang sedang mengintai. Perang pun meletus. Laga ‘timah panas’ dari moncong senjata AK kontra SS1 dan M16 membahana memecah sunyi.

“Auuu...”  Jala menjerit, kena tembakan dan ia merintih kesakitan. Kombatan GAM dari Panteu Breuh, Desa Abah Lueng ini terus saja merintih-rintih dalam kesakitan. Jala (nama panggilan untuk Jalaluddin) pengawal Tengku Abdullah Syafi’i. Pertempuran pun terjadi antara pasukan pengawal Teungku Lah versus pasukan TNI dari Ton-2 Kompi Yonif Linud 330 yang dipimpin Serka I Ketut Muliastra semakin sengit.

Teungku Lah mengeluarkan peluru yang bersarang di kaki Jala. Lalu, Teungku Lah membubuhkan ie babah (air dari mulut) pada luka kaki Jala. “Bek moe lee,” kata Teungku Lah pada Jala. Jala merasakan kondisinya mulai membaik. Ia kembali menembak, membantu rekannya membalas gempuran pasukan pemerintah.

Tidak lama berselang, tiba-tiba Teungku Lah kena tembak. Jala yang menempel Teungku Lah mencoba membantu Panglima Komando Pusat Teuntra Aceh ini. Jala ingin memapah Teungku Lah untuk ke luar dari arena kontak tembak, tapi malah ia mengatakan "bek (jangan) begitu kata Teungku Lah yang melarangnya.

“Nyoe ka troh nyang lon lakee, ka troh watee nyang lon preh-preh (kini sudah tiba waktunya yang saya tunggu-tunggu)” kata Teungku Lah kepada Jala.
Dalam kondisi sekarat, Teungku Lah memerintahkan Jala segera lari untuk menyelamatkan diri. Jala menolak, ia tidak ingin meninggalkan panglimanya tinggal begitu. Tapi justru Teungku Lah kembali lagi perintahkan Jala untuk kabur.

Saat lari karena diperintahkan Teungku Lah, Jala pun menemukan sebuah sumur. Dan ia masuk ke sumur itu, lalu menutup sumur dengan tumpukan jerami,” kata Puteh Binti Abbas (73 tahun), saat ditemui tim media di Desa Blang Sukon, Kemukiman Cubo, Kamis 1 September 2011.

uteh Abbas, dipanggil Nek Teh adalah mertua Teungku Lah. Ia mendengar cerita itu langsung dari mulut Jala tak lama setelah kejadian itu. Jala selamat setelah masuk ke sumur. Sedangkan Teungku Lah meninggal di tempat kejadian. Dari foto kematiannya tersebut, diperlihat sendiri oleh pasukan TNI setelah peristiwa itu yang mengabarkan kematian Teungku Lah (sambil tersenyum dengan luka menganga di dada).

“Anak saya, Fatimah (istri Teungku Lah) yang sedang hamil tujuh bulan, bersama para pengawal Teungku Lah juga tertembak dalam kejadian itu, mereka meninggal." Hanya dua orang yang selamat, salah satunya Jala, kata Nek Teh menjelaskan kronologis meninggalnya Teungku Lah pada media.

Ziarah ke Makam Teungku Abdullah Syafii

Makam Teungku Abdullah Syafie dijaga sendirian oleh perempuan paruh baya berusia 73 tahun. Perempuan tua itu terbungkuk-bungku menyapu halaman lantai sebuah balai yang terletak tepat di belakang rumahnya. Posisi rumahnya tak jauh dari meunasah Desa Blang Sukon, Kemukiman Cubo, Kecamatan Bandar Baru, Pidie Jaya.

Nek Teh, Mertua Teungku Lah Puteh Binti Abbas, demikian nama perempuan 73 tahun itu. Ia biasa dipanggil Nek Teh. Dialah mertua almarhum Teungku Abdullah Syafi’ei, Panglima AGAM yang akrab disapa Tgk Lah. 

“Selama ini, Nek Teh sendirian yang merawat makam Teungku Lah,” kata Usman Basyah, 35 tahun, warga Desa Blang Sukon.

Nek Teh mulai membentangkan tikar di balai beratap seng. “Balai ini dulunya berada di sana,” kata Nek Teh sembari menunjuk ke arah dekat empat makam yang berdampingan. Ketika makam mulai dipugar, balai pun harus pindah tempat.

Makam tersebut adalah makam Teungku Lah, istrinya, Fatimah, dan makam Muhammad Bin Ishak serta Teungku Muhammad Daud Bin Hasyim, keduanya pengawal Teungku Lah, yang meninggal dalam kontak tembak di Alue Mon, area; persawahan kawasan pertanian. (Demikian petikan dari The Atjeh Post).

Kisah di atas membuktikan Abdullah Syafii menjadi inspirasi bagi masyarakat Aceh umumnya bahwa perjuangan membutuhkan keikhlasan. Di kala ajal yang menjemputnya, ia masih bisa tersenyum bangga dengan pengorbanan darah dan air matanya untuk berjuang telah terbukti, sehingga banyak orang yang mengatakan bahwa ia memang syahid dalam keikhlasannya berkorban.

Dengan kematiannya juga merupakan sebuah kehilangan besar bagi seluruh rakyat Aceh. Dan sekarang rakyat Aceh umumnya sangat merindukan dan mendambakan sosoknya yang selalu hidup dalam qalbu rakyat Aceh. 

Rujukan :The Atjeh Post dan  beberapa sumber lainnya
Previous
Next Post »