Kisah Pahit seorang ibu dan anaknya yang tinggal dalam masa-masa konflik Aceh


Sang anak selalu menangis tersedu-sedu karena rindu pada ayahnya yang tak kunjung pulang. Tiap waktu, dia menanyakan ibunya tentang keberadaan ayahnya itu. Sang ibu hanya bisa mengelus dada, tak tahu harus menjawab apa. Karena ayahnya itu hilang ntah kemana dibawa oleh orang-orang yang tak dikenal.
Harapan anaknya itu, seandainya ayahnya masih hidup, suatu saat ketika dia sudah tumbuh dewasa, dia akan mencari ayahnya dan mengajaknya pulang kembali, berkumpul bertiga bersama ibunya dan memiliki keluarga yang utuh. Namun, jika ayahnya sudah meninggal hanya satu harapannya, "meupat jrat" alias tahu letak kuburan ayahnya itu agar dia bisa berdoa.
Selepas kepergian ayahnya itu, sang anaklah yang bekerja keras mencari upah untuk menghidupi kehidupannya dan ibunya. Dengan sabar dan ketabahan ibu dan anak terus bertahan. Nasib sudah diatur oleh Allah, manusialah yang harus sabar dan tidak berputus asa. Suatu saat, pasti kebahagiaan akan tiba. Harapan mereka, suatu saat Aceh akan aman dan damai. Tidak ada lagi terjadi pertumpahan darah, Aceh tetap jaya dengan mempertahankan kekokohan agama. Sehingga tak akan ada lagi anak-anak yang menjadi yatim karena ayahnya yang tak tau hilang ntah ke mana.***
Yah. Itulah segelintir kisah pahit warga Aceh yang hidup ketika terjadi konflik yang berkepanjangan. Puncaknya adalah ketika pemerintahan orde baru di bawah pimpinan presiden Soeharto. Aceh ketika itu merasa terlalu sering dikhianati dan tertindas, sedangkan pemerintahan RI menganggap Aceh telah memberontak sehingga memicu timbulnya perang di kedua belah pihak. Saat itu, saya masih duduk di bangku Ibtidaiyah dan masih belum mengerti apa-apa, kalau tidak salah masih duduk di kelas 3 sekitar tahun 1998-1999. Keadaan Aceh sangat tidak aman, tidak yang seperti kita lihat saat ini. Rentetetan senjata api terdengar di mana-mana, pekikan referendum selalu di teriakkan.
Saya dulu masih belum paham, sebenarnya apa yang sedang terjadi saat itu. Suatu hari, ketika saya dan teman-teman sedang berada di sekolah melaksanakan aktifitas belajar seperti biasanya, dari kejauhan tiba-tiba saja terdengar suara letusan senjata api. Kontak senjata terjadi secara bertubi-tubi...
"TIARAAAPPPP....!!!!!", guru-guru pun panik dan dengan segera mengamankan kami para murid. Tak lama sesudah itu, jalanan pun ramai, anak-anak muda dan juga orang-orang tua yang pria turun ke jalan meneriakkan kata-kata referendum yang saya tak tahu artinya apa. Mereka berjalan kaki dan juga menaiki truk-truk. Dan sepulang ke rumah, barulah saya tahu kalau ternyata referendum itu adalah harapan warga Aceh untuk merdeka.
Hari-hari kami lewati dengan perasaan was was dan tak aman. Terlebih lagi para kaum pria yang sudah dewasa, jika tak waspada, maka dia akan hilang dan dibawa pergi oleh orang yang tak dikenal bersenjata dan memakai seragam.


Untungnya, saya sekeluarga tinggal di daerah yang masih agak kekotaan. Perang antara kedua belah pihak (Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintahan RI) sering terjadi di daerah perkampungan dan hutan-hutan. Jadi, saat itu di Aceh kita tak bisa berpergian terlalu jauh dan keluar rumah di atas jam 9 malam. Jika ingin aman.
Banyak juga warga yang tak bersalah menjadi korban karena dianggap mata-mata salah satu pihak atau dianggap memberontak. tak hanya itu, para warga yang kaya juga sering menjadi korban, harta dirampas dengan alasan keperluan perang.
Makanya, saat itulah begitu banyak warga aceh yang harus menjadi janda dan menjadi yatim. Hingga menanggung luka yang sangat dalam, bahkan ada juga yang menaruh dendam.


Yah. Itu hanya cerita lama yang menjadi sejarah kelam masyarakat Aceh. Saat ini, Aceh sedang merentas jalan damainya. Perdamaian ini didapatkan setelah musibah besar melanda Aceh yaitu gempa dan tsunami besar tanggal 26 Desember 2004. Nah, tepatnya tanggal 15 Agustus 2005, perjanjian damai Aceh dan pemerintahan RI pun ditanda tangani. Aceh kembali aman, konflik berkepanjangan pun telah usai.
Saat ini, Aceh dituntut untuk melakukan rekonsiliasi dan rekontruksi dari konflik dan musibah yang telah didapatnya.
Damai tak hanya sekedar terlepas dari konflik belaka dan pembangunan di sana-sini. Perjuangan berat warga Aceh adalah mempertahankan kedamaian Aceh dan meneruskan jalan damai dengan memajukan Aceh ini secara menyeluruh. Tanpa dendam, tanpa terikat dengan sejarah pahit masa lalu.
Memang damai sudah Aceh dapatkan, tapi untuk apakah damai jika tidak dijalani dengan baik dan benar? Korupsi masih terjadi, demo di mana-mana, pengangguran dan kemiskinan tidak bisa diberantas dan juga warga masih bermalas-malasan??


Damai bukan hanya di atas kertas, namun damai berarti terjamin kesejahteraan dan keamanan lahir dan batin. Antara warga dan pemerintahan.

Sumber :Rakyat Aceh Dukung FPI

Previous
Next Post »