ACEH BUTUH PEMIMPIN BUKAN PEMIMPI


PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) Aceh memang akan dihelat pada 2017, namun genderang perang pemilihan pemimpin ini sudah mulai ditabuh. Sayup suaranya kini mulai terdengar, semakin hari semakin nyaring, lantang dan kian bergermuruh saat masa-masa kampanye nantinya. Perang kata, buaian janji akan ditaburkan kadang melampau batas batas etika dan rasio. Uniknya, selalu saja ada masyarakat kita yang terbuai oleh janji-janji yang kerap teringkari ini.

Meski kancah politik selalu dibalut oleh nuansa keburaman moral namun ia selalu mengandung magis yang sungguh mempesona. Tidak hanya rakyat biasa, kaum terpelajarpun kadang tidak bisa lepas dari jeratnya. Di Aceh isu politik selalu saja menjadi topik utama tidak hanya di warung kopi tapi juga menghiasi obrolan pagi di institusi resmi swasta dan pemerintahan.

Begitu menariknya persoalan politik bagi masyarakat Aceh, apalagi ketika dikaitkan dengan ajang pemilihan pemimpin yang diharapkan akan mampu membawa Aceh ke arah yang lebih menjanjikan. Harapan ini sejalan dengan makna pemimpin itu sendiri yang dipahami sebagai sosok yang mampu menginspirasi dan membawa komunitasnya menuju tujuan yang ditetapkan bersama. Pemimpin adalah sosok kharismatik yang mampu menanamkan semangat memiliki sehingga ia mampu mengderakkan komunitasnya menuju perubahan. Dalam konsep sosiologi pemimpin itu merupakan agen perubahan yang mampu merangkul kekuatan personal, kemudian digabung menjadi kekuatan kolektif dan transformatif (Piotr Szompka, 2005).

Ketertarikan masyarakat Aceh ini terhadap politik dan kepemimpinan ini sudah tertanam dari dulu. Hal ini bisa dipahami mengingat bahwa dalam sejarahnya memang Aceh ini selalu ditakdirkan sebagai wilayah penuh dinamika ektrim dan konflik yang seakan tidak berujung. Suasana ini membuat eksistensi pemimpin sebagai sebuah keniscayaan. Mereka yang diharapkan menjadi sosok yang dapat menyelesaikan problem yang dihadapi. Masyarakat Aceh mempunyai kriteria yang cukup ketat tekait sosok pemimpin. Hal ini jelas tergambar dalah hadih maja, Meuriri uroet ta ikat beunteung, meuriri ureung taboeh keuraja.

Kriteria pemimpin
Untuk itu, sejak dulu masyarakat Aceh mempunyai atau kriteria tersendiri dalam memilih pemimpin. Kriteria ini oleh orang bijak terdahulu kemudian diabadikan dalam kata-kata hikmah Aceh yang dikenal dengan hadih maja. Di antara kriteria pemimpin dalam hadih maja Aceh itu adalah: Pertama, pemimpin itu harus mempunyai kwalitas spiritual atau kesalehan dalam beragama. Landasan agama ini menjadi syarat utama menjadi pemimpin masyarakat Aceh yang dikenal kental dengan nilai keislaman. Masyarakat Aceh berkeyakinan bahwa pemimpin yang kuat beragamalah yang dapat membawa masyarakatnya menuju keselamatan dunia dan akhirat. Dalam hadih maja disebutkan, bek taboeh keuraja yang tan agama, didonya hanco akhirat binasa.

Kedua, bahwa pemimpin itu harus mempunyai sifat yang adil. Sifat adil ini merupakan syarat penting menjadi pemimpin yang dicari oleh masyarakat Aceh. Sehingga tidak aneh jika kita menjumpai gelaran kehormatan bagi raja-raja Aceh tempo doeloe dijuluki Malikul Adil. Hal keadilan inilah yang dicerminkan dalam hadih maja, raja adee geuseumah, raja dhalem geusanggah. Rakyat Aceh akan menunjukkan kepatuhan kepada pemimpin yang adil, sebaliknya mereka juga tidak segan-segan melawan raja yang zalim atau khianat.

Sudah menjadi watak masyaraka Aceh lebih mengutamakan kebenaran, sehingga tidak pernah mengenal konsep kepemimpinan atas dasar kefanatikan, kesukuan atau kesakralan. Masyarakat Aceh tidak akan memilih pemimpin yang tidak adil dan menzalimi rakyat. Dalam pandangan orang Aceh kepemimpinan yang zalim itu dianggap sebagai kesialan sebagaimana disebutkan dalam hadih maja, paleh inong hana lakoe, paleh nanggroe dhalem raja.

Ketiga, pemimpin yang diidamkan oleh masyarakat Aceh adalah pemimpin yang mengayomi dan mengajarkan kebaikan. Memberi bimbingan kepada masyarakat dan menunjuki jalan keselamatan dunia akhirat. Sosok ini diabadikan dalam hadih maja, nyan keuh raja yang sereulo, aneuk nanggroe sabee geuaja. Dari sini jelas bahwa pemimpin yang diidamkan adalah pemimpin yang menginspirasi rakyat dengan membimbing mereka ke jalan yang benar, mengajarkan tentang nilai-nilai moral dan nilai-nilai agama.
Aceh hari ini memerlukan pemimpin yang benar-benar mempunyai wawasan keilmuan yang handal, sekaligus mempunyai komitmen dan integritas moral yang baik. Sehebat apa pun kemampuan intelektualitas seorang pemimpin tidak akan mampu membawa perubahan dalam masyarakat, tanpa dibaringi dengan landasan moral yang memadai.

Menjual mimpi
Selama ini standar intelektual dan integritas moral ini yang mulai langka dalam diri pemimpin kita. Oleh karenanya, mereka akan menjadi “pemimpi” yang hanya “menjual mimpi” kepada masyarakat. Kenyataan ini akan kembali hadir dalam masa-masa kampanye nantinya. Akan banyak janji palsu yang didengungkan dan akan banyak angin sorga dihembuskan. Di atas segalanya jauh lebih penting, sejauh mana kecerdasan masyarakat kita menganalisa setiap senjata politik yang berbalut mimpi agar kita tidak lagi terjebak dalam putaran labirin mimpi yang tak pernah berujung.

Sosok “pemimpi” ini akan pandai menghayal agenda-agenda yang menabrak batas rasio. Mereka malah tidak peduli dengan kebenaran kata-katanya sendiri, sebab hakikatnya mereka adalah pemimpi yang sedang lelap dalam mimpi. Dalam lamunan mimpi mereka barharap bahwa mereka akan terjaga menjadi pemimpin. Semoga mimpi mereka hanya sebatas mimpi dan kita tidak perlu mengambil bagian larut dalam mimpi mereka. Aceh modern tidak bisa dibangun atas dasar mimpi-mimpi yang irrasional.

Semua platform pembangunan Aceh ke depan perlu dibangun dengan perhitungan dan perencanaan yang terukur. Baik perencanaan jangka panjang, menengah dan pendek. Oleh karenanya memerlukan sosok pemimpin yang mampu merencanakan, pemprediksi kemungkinan dan mewujudkan pembangunan dalam aksi yang konkret sembari menghiasi pembangunan dengan nilai-nilai spiritual.

Pilkada ke depan sejatinya harus menjadi ajang seleksi pemimpi yang diharapkan sebagaimana yang diisyarakat dalam peutuah indatu masyarakat Aceh. Sosok pemimpin yang agamawan, yang menebarkan keadilan bagi segenap masyarakat Aceh yang telah lama dan lelah hidup dalam ketidakadilan. Kita semua berharap akan terpilih seorang pemimpin yang siap membina dan membawa masyarakat Aceh menuju hari esok yang lebih cerah dan gemilang, bermartabat di sisi manusia dan mulia di sisi Allah Swt di akhirat kelak. Wallahu a’lam bishawaf.

(Oleh Lukman Hakim)


*Dr. Lukman Hakim A. Wahab, M.Ag., Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry, peneliti Pusat Kajian Pendidikan dan Masyarakat (PKPM) Aceh. Email: loekman_af@yahoo.com

Rujukan :Serambi Indonesia
Previous
Next Post »